blogging

Kamis, 17 November 2011

CORAK PEMIKIRAN TASAWUF HASAN AL-BASHRI

By on 13.15


sejarah historis ajaran tasawuf
mengalami perkembangan yang sangat pesat, berawal dari upaya meniru pola
kehidupan rosulullah saw. Rosulallah saw lah yang di jadikan suri tauladan bagi
pera sahabat yang kemudian berkembang menjadi doktrin yang konseptual. Tasawuf
pada nabi masih bersifat umum,ajaran nya sudah ada hanya saja tasawuf itu
sendiri merupakan istilah yang muncul setelah nabi.kemudian pada masa tabiin
seorang ulama’ yaitu hasan al-basri, beliau di anggap tokoh yang paling sentral
dalam ajaran kerohanian atau tasawuf.hasan al basri merupakan oaring yang
mempraktekan,berbicara dan menguraikan
maksud  dari ajaran tasawuf  yang kemudian menjadi pembuka jalan bagi
generasi berikutnya.

1.
Riwayat
hidup
Hasan
Al-Bashri, yang nama lengkapnya Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar, adalah seorang
zahid yang sangat masyhur di kalangan tabi’in. Ia juga seorang ulama besar dalam
beberapa bidang ilmu, seperti hadits, fiqih, dan tafsir, juga seorang pendidik
dan sufi. Ayahnya bernama Yasar Al-Bashri Maula Zaid bin Tsabit Al-Anshari,
sedangkan ibunya bernama Khairah Maulat Ummu Salamah. Ia dilahirkan di Madinah
pada tahun 21 H. (642 M.) dan wafat pada hari Kamis bulan Rajab tanggal 10
tahun 110 H. (728 H.). Ia dilahirkan dua malam sebelum Khalifah Umar bin
Khattab wafat. Ia dikabarkan bertemu dengan 70 orang sahabat yang turut
peperangan Badar dan 300 sahabat lainnya. 
Keluarga Hasan Al-Bashri adalah keluarga yang berilmu dan menaruh perhatian terhadap
ilmu, terutama Al-Qur’an dan Hadits. Ibunya sendiri, yang sangat dekat dengan
Ummu Salamah, salah seorang istri Rasulullah SAW, tergolong orang berilmu.
Ibunya itu adalah seorang penghafal dan periwayat hadits, yang menerima dan
meriwayatkan banyak hadits dari Ummu Salamah.
Pendidikan
awal Hasan Al-Bashri diperolehnya dari lingkungan keluarganya sendiri, Ibunya
adalah gurunya yang pertama. Kehidupan keluarganya di Madinah, yang berlangsung
selama kurang lebih 16 tahun sejak kelahiran Hasan Al-Bashri sampai dengan
perpindahannya ke Basrah, member warna tersendiri bagi perkembangan
pengetahuannya. Ibunya banyak memberikan pengaruh terhadap perkembangan dan
pertumbuhan Hasan Al-Bashri dan saudaranya. Berkat pendidikan dan pembinaan
dari ibunya, maka pada usia 14 tahun Hasan sudah menghafal Al-Qur’an. Sejak
usia dini seperti ini ia juga telah banyak mendengar riwayat (hadits) dari
ibunya. Pergaulannya dengan para sahabat Nabi SAW membuat cakrawala pengetahuan
agamanya, terutama hadits, bertambah luas.
Ahmad
Isma’il Al-Basit, seorang ulama Yordania, membagi masa kehidupan Hasan atas tiga
periode, yaitu :
1.     Periode
tahun 21-42 H,
2.     Periode
tahun 43-53 H,
3.     Periode
tahun 53-110 H.
Periode
pertama merupakan periode Hasan di Madinah. Pada masa ini ia banyak menimba ilmu,
tidak hanya pada ibunya, melainkan juga dari sebagian sahabat. Pada periode
kedua ia mulai melibatkan diri dalam berbagai peperangan dan penaklukan
wilayah-wilayah baru. Pada saat yang bersamaaan, ia juga bertemu dengan banyak
sahabat Nabi SAW dan menimba ilmu dari mereka. Periode ketiga ia habiskan
waktunya di Bashrah untuk menyampaikan dan mengajarkan ilmunya.
Dialah
(Hasan Al-Bashri) yang mula-mula menyediakan waktunya untuk memperbincangkan
ilmu-ilmu kebatinan, kemurnian akhlak, dan usah menyucikan jiwa di Masjid
Bashrah. Ajaran-ajarannya tentang kerohanian senantiasa didasarkan pada sunah
Nabi. Sahabat Nabi yang masih hidup pada zaman itu pun mengakui kebesarannya.
Suatu ketika seorang dating kepada Anas bin Malik-sahabat Nabi yang utama-untuk
menanyakan persoalan agama, Anas memerintahkan orang itu agar menghubungi
Hasan. Mengenai kelebihan lain dalam diri Hasan, Abu Qatadah pernah berkata, “Bergurulah kepada syekh ini. Saya sudah
saksikan sendiri (keistimewaannya). Tidak ada seorang tabi’in pun yang
menyerupai sahabat Nabi selainnya.”
Karir
pendidikan Hasan Al-Bashri dimulai dari Hijaz. Ia berguru hamper kepada seluruh
ulama di sana. Bersama ayahnya, ia kemudian pindah ke Bashrah, tempat yang
membuatnya masyhur dengan nama Hasan Al-Bashri. Disamping dikenal sebagai zahid, ia pun dikenal sebagai seorang
yang wara’ dan berani dalam memperjuangkan kebenaran.
Untuk
mengembangkan ilmu yang pertama diterimanya, ia membuka Madrasah Hasan
Al-Bashri,yaitu sebuah forum khusus untuk berdiskusi dan bertukar pikiran
dengan para murid. Di maadrasah inilah ia mengajarkan berbagai ilmu keislaman.
Ia
menyampaikan pesan-pesan pendidikannya melalui dua cara. Pertama ia mengajak
murid-muridnya untuk menghidupkan kembali kondisi masa salaf, seperti yang
terjadi pada masa para sahabat Nabi SAW, terutama pada masa Umar bin Khattab,
yang selalu berpegang kepada Kitabullah dan sunah Rasulullah SAW. Kedua, ia
menyeru murid-muridnya untuk bersikap zuhud dalam menghadapi kemewahan dunia.
Zuhud menurut pengertiannya ialah tidak tamak terhadap kemewahan dunia dan
tidak pula lari dari soal dunia, tetapi selalu merasa cukup dengan apa yang
ada.
Dr.
Abdul Mun’im al-Hifni, seorang ahli tasawuf Cairo, memasukan Hasan al-Basri
dalam kelompok sufi besar. Dengan mengutip pendapat Abu Hayyan at-Tauhidi
(seorang ahli tasawuf), ia mengatakan bahwa Hasan al-Basri adalah seorang zahid
yang warak dan penasihat yang nasihatnya menyejukan hati dan kalimatnya
menyentuh akal. Tentang tasawuf, Hasan al-Basri berkata, “Barang siapa yang
memakai tasawuf karena tawadlu’ (kepatuhan) kepada Allah akan ditambah Allah
cahaya dalam diri dan hatinya, dan barang siapa yang memakai tasawuf karena
kesombongan kepada-Nya akan dicampakkan-Nya ke dalam neraka.”
2.
Ajaran-ajaran
tasawufnya
Kedalaman
pengetahuan Hasan Al-Bashri mengenai tasawuf membuatnya cenderung untuk
mengartikan beberapa istilah dalam agama islam menurut pendekatan tasawuf.
Islam, misalnya, diartikannya sebagai penyerahan hati dan jiwa hanya kepada
Allah SWT dan keselamatan seorang muslim dari gangguan muslim lain. Orang
beriman, menurutnya, adalah orang yang mengetahui bahwa apa yang dikatakan
Allah SWT, itu pulalah yang harus dia katakan. Orang mukmin ialah orang yang
paling baik amalannya dan paling takut kepada Allah SWT. Para sufi, menurut
pengertiannya, ialah orang yang hatinya selalu bertakwa kepada Allah SWT dan
memiliki cirri-ciri antara lain sebagai berikut: berbicara benar, menepati
janji, mengadakan silaturahmi, menyayangi yang lemah, tidak memuji diri, dan
mengerjakan yang baik-baik. Faqih, menurutnya, ialah orangyang zahid terhadap
dunia dan senang terhadap akhirat, melihat dan memahami agamanya, senantiasa
beribadah kepada Tuhannya, bersikap warak, menjaga kehormatan kaum muslimin dan
harta mereka, dan menjadi penasihat dan pembimbing bagi masyarakatnya.
Sebagaimana
sufi lainnya, Hasan Al-Bashri sangat takut terhadap siksaan Allah SWT. Abdul
Mun’im Al-Hifni menggambarkan bahwa Hasan Al-Bashri tampak seperti orang yang
selalu ketakutan. Ia selalu merasa takut karena membayangkan bahwa neraka itu
seakan-akan diciptakan oleh Allah SWT semata-mata untuk dirinya.
Nasihatnya yang terkenal diucapkannya
ketika beliau (Hasan Al-Bashri) diundang oleh penguasa Iraq, Ibnu Hubairoh,
yang diangkat oleh Yazid bin Abdul Malik. Ibnu Hubairoh adalah seorang yang
jujur dan sholeh, namun hatinya selalu gundah menghadapi perintah-perintah
Yazid yang bertentangan dengan nuraninya. Ia berkata, “Allah telah memberi
kekuasan kepada Yazid atas hambanya dan mewajibkan kita untuk mentaatinya. Ia
sekarang menugaskan saya untuk memerintah Iraq dan Parsi, namun kadang-kadang
perintahnya bertentangan dengan kebenaran. Ya, Abu Sa’id apa pendapatmu?
Nasihatilah aku …”
Berkata Hasan Al-Bashri, “Wahai Ibnu
Hubairoh, takutlah kepada Allah ketika engkau mentaati Yazid dan jangan takut
kepada Yazid¬ketika engkau mentaati Allah. Ketahuilah, Allah membelamu dari
Yazid, dan Yazid tidak mampu membelamu dari siksa Allah. Wahai Ibnu Hubairoh,
jika engkau mentaati Allah, Allah akan memelihara¬mu dari siksaan Yazid di
dunia, akan tetapi jika engkau mentaati Yazid, ia tidak akan memeliharamu dari
siksa Allah di dunia dan akhirat. Ketahuilah, tidak ada ketaatan kepada makhluk
dalam ma’siat kepada Allah, siapapun orangnya.” Berderai air mata Ibnu Hubairoh
mendengar nasihat Hasan Al-Bashri yang sangat dalam itu.
Hasan
Al-Bashri masyhur dengan kezuhudannya yang berlandaskan khauf (takut kepada
kemurkaan Allah SWT dan raja’ (mengharapkan rahmat Allah SWT). Yang dimaksud dengan
khauf ialah takut terjerumus pada kemaksiatan yang akan mendapat kemurkaan dari
Allah SWT. Khauf harus diiringi dengan raja’, yakni senantiasa mengharap
karunia Allah SWT. Oleh sebab itu, Hasan Al-Bashri mengatakan: “Jauhilah dunia
ini, karena ia sebenarnya serupa dengan ular, licin pada perasaan tangan,
tetapi racunnya mematikan.”
Abu
na’im Al-Ashbahani menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan Al-Bashri sebagai
berikut, “takut (khauf) dan pengharapan (raja’) tidak akan dirundung kemuraman
dan keluhan, tidak pernah tidur senang karena selalu mengingat Allah.”
Pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk
senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh
perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Sya’rani pernah berkata,
“Demikian takutnya, sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu hanya
dijadikan untuk ia (Hasan Al-Bashri).”
Lebih
jauh lagi, Hamka mengemukakan sebagian ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri seperti
ini:
a.     “Perasaan
takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik daripada rasa tentram yang
menimbulkan perasaan takut.”
b.     “Dunia
adalah negeri tempat beramal. Barangsiapa bertemu dunia dengan rasa benci dan
zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Namun, barangsiapa
bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya tertambal dengan dunia, ia akan
sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat
ditanggungnya.”
c.      “Tafakur
membawa kita pada kebaikan dan selalu berusaha untuk mengerjakannya. Menyesal
atas perbuatan jahat menyebabkan kita bermaksud untuk tidak mengulanginya lagi.
Sesuatu yang fana’ betapapun banyaknya tidak akan menyamai sesuatu yang baqa’
betapapun sedikitnya. Waspadalah
terhadap negeri yang cepat datang dan pergi serta penuh tipuan.”
d.     “Dunia
ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali ditinggalkan
mati suaminya.”
e.      “Orang
yang beriman akan senantiasa berduka-cita pada pagi dan sore hari karena berada
di antara dua perasaan takut: takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut
memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.”
f.       “Hendaklah
setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya, dan juga takut
akan kiamat yang hendak menagih janjinya.”
g.     “Banyak
duka cita di dunia memperteguh semangat amal shaleh.”
Berkaitan
dengan ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri, Muhammad Mustafa, guru besar Filsafat
Islam, menyatakan kemungkinan bahwa tasawuf Hasan Al-Bashri didasari oleh rasa
takut siksa Tuhan di dalam neraka. Namun, ada yang meneliti bahwa ternyata
bukan perasaan takut terhadap siksaanlah yang mendasari tasawufnya, tetapi
kebesaran jiwanya akan kekurangan dan kelalaian dirinyalah yang mendasari
tasawufnya itu. Sikapnya itu senada dengan sabda Nabi yang berbunyi, “Orang beriman yang selalu mengingat
dosa-dosa yang pernah dilakukannya adalah laksana orang duduk di bawah sebuah
gunung besar yang senantiasa merasa takut gunung itu akan menimpa dirinya.”
  

KESIMPULAN
Hasan
basri merupakan ulama’ zahid yang masyhur,dasar utama hasan al basri adalah
kezuhudan yaitu meninggalkan segalakenikmatan,kemewahan,kesenangan dunia. Hasan
basri mengumpamakan duniasebagai ular halus di luar nya tapi biasa nya beracun.
Oleh sebab itui beliau menganjurkan untuk meninggalkan kesenangan dunia karena
dunia bisa membuat kita berpaling dari kebenaran dan membuat kita selalu
memikirkan nya.
Prinsip
ajarannya adalah khauf dan raja’ ,yaitu takut dan berharap maksudnya adalah
takut dengan siksaan allah swt  karena
melakukan dosa dan sering meninggalkan perintahnya,takut pada murka allah dan
juga di iringi dengan harapan / selalu berharap agar mendapat ridhlo dari allah
swt. Oleh karena itu prinsip-prinsip ajran ini mengandung kesiapan dalam
melakukan introspeksi  diri agar selalu
memikirkan kehidupan yang hakiki dan abadi.
  
REFRENSI
Rosihin anwar.ilmu tasawuf.pustaka setia.bandung

0 komentar:

Posting Komentar